Jumat, 18 Mei 2012

Renungan Al - Kisah


Sebuah Kisah Cinta Yang Belum Pernah Diungkap
Yagmur Dursun*

“Ada sebuah perayaan, tetapi itu bukan pesta pernikahannya. Ia mengenakan gaun putih, tetapi itu bukan gaun pengantinnya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang untuk mengutukinya dan melemparkan batu padanya. Tak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara.”

Sejak peristiwa 11 September, kami masih terus mendengar bahwa Islam adalah sebuah agama damai. Tetapi aksi-aksi dari ratusan ribu orang-orang Muslim fanatik memberikan alasan yang tepat untuk kami melihat agama ini secara berbeda. Jika kita mengalihkan mata kita dari headline berita, maka ada juga kisah-kisah yang belum diceritakan, tetapi kisah-kisah itu pun memperlihatkan pada kita sisi gelap dari Islam.
Dalam kisah tragis berikut ini, anda akan bertemu dengan Yagmur, yang menceritakan bagaimana saudara perempuannya jatuh cinta dengan seorang pria muda, dimana ayah pria itu melarangnya untuk menikahi wanita ini. Yagmur masih ingat betapa bahagia wajah kedua orang muda ini dan betapa mereka saling mencintai. Dalam usaha untuk mendapatkan restu dari orangtuanya, saudara perempuan Yagmur dan pacarnya memberitahukan bahwa ia sudah hamil. Apa yang kemudian berlangsung dalam kisah nyata mengenai hati yang hancur dan penganiayaan ini, adalah sesuatu yang tidak terbayangkan oleh mereka yang hidup di negara Barat. Setelah mendengar kehamilan anak perempuannya, ayah Yagmur dengan geram membawa anak perempuannya ke para pemimpin agama. Karena telah terjadi perzinahan, maka saudara perempuan Yagmur akan dihukum mati dengan cara dilempari dengan batu. Ini adalah sebuah kisah cinta yang tragis, dengan brutalitas yang tak terbayangkan. Setting dari hikayat ini mungkin akan mengejutkan banyak orang. Disamping itu, kisah ini terjadi bukan di Saudi Arabia, Iran atau Afghanistan, melainkan di Turki – yang banyak orang pada masa kini percaya bahwa negara ini akan segera menjadi anggota permanen dari Masyarakat Ekonomi Eropa.
Kisah Cinta Yang Belum Pernah Diceritakan
Nama saya Yagmur (artinya “hujan”). Saya dilahirkan di pedalaman Turki, di sebuah desa. Pada umumnya, wanita-wanita Turki menikmati banyak kebebasan yang bagi saudari-saudari Arab kami merupakan hal yang tidak pernah mereka pikirkan. Tetapi pedalaman Turki adalah cerita yang berbeda. Pembunuhan karena kehormatan terjadi setiap hari. Biasanya wanita mengerjakan urusan-urusan rumah tangga meskipun mereka masih diperbolehkan bekerja di luar. Tetapi sebenarnya wanita bekerja lebih keras dari pria sebab umumnya pria tidak suka memaksa diri mereka. Di sini, wanita seperti sapi atau budak. Jika suamimu menyuruhmu melakukan sesuatu maka engkau harus mentaatinya.
Ibu saya adalah seorang wanita yang agak berpendidikan. Ia mengajariku di rumah dan bahkan mengijinkanku belajar di sekolah. Hobby saya adalah membaca buku. Melalui buku-buku ini, saya mempelajari bahasa-bahasa yang berbeda dan memperoleh banyak pengetahuan.
Saya seorang gadis yang berdisiplin dan taat, berbeda dengan saudara perempuanku yang agak angkuh. Ketika ia berusia delapan belas tahun, ia jatuh cinta pada seorang pria muda. Keduanya saling mencintai, tetapi pria itu sudah dijodohkan dengan gadis lain, dan ini adalah keputusan orangtuanya. Pacaran merupakan hal yang dilarang dalam Islam; pernikahan terjadi karena dijodohkan dan seringkali orang-orang muda hanya bertemu pasangannya pada hari pernikahan.
Tetapi kakak perempuanku memberontak. Ia “berpacaran” dengan pria muda itu. Setiap malam ia akan pergi untuk bertemu dengannya. Mereka melakukan ciuman dan kemudian hubungan itu menjadi terlalu jauh: Ia pun hamil. Pada awalnya mereka merencanakan untuk melarikan diri ke kota besar dimana kemungkinan mereka akan aman di sana. Mereka tahu peraturan agama di desa dan menyadari bahwa mereka akan mendapatkan masalah besar. Para pemimpin pusat tidak perduli apa yang terjadi di pedalaman Turki. Kadang-kadang memang ada imam atau mullah dan para tua-tua yang dihukum karena mereka mencoba untuk mempraktekkan hukum Islam (Sharia) dan melanggar hukum sekular pemerintah. Tetapi biasanya pemegang otoritas lebih tertarik dengan kota-kota besar yang dipenuhi oleh para turis dan menutup mata mereka terhadap apa yang terjadi di desa-desa.
Saya ingat wajah muda mereka. Saya tidak memahami seluruh situasinya; saya hanyalah seorang gadis kecil. Tetapi ketika saya memandang mereka saya bisa melihat bahwa mereka berbahagia. Kebahagiaan mereka membuat saya bahagia juga, dan saya ingin tersenyum.
Bukannya menikah dengan orang pilihannya, mereka berbicara kepada ayah saya. Kehamilan adalah sebuah alasan baik untuk mendapatkan ijin menikah, itu yang mereka kira.
Celakanya, kakakku salah dalam mengkalkulasikan cinta ayah kami padanya dan obsesi ayah dengan agamanya. Ternyata ia menjadi sangat marah. Bukannya membiarkan dua orang yang sedang jatuh cinta ini menikah dan membangun cinta mereka, ia membawanya ke para pemimpin agama dan mereka menetapkan bahwa kakakku telah melakukan dosa perzinahan. Ia dijatuhi hukuman mati dengan dilempari dengan batu. Mereka tidak menunjukkan belas kasihan bahkan terhadap janin dalam kandungannya. Ia telah menodai “kehormatan” keluarganya dan satu-satunya jalan untuk menghapus noda itu adalah dengan melenyapkan hidupnya yang baru bersemi itu. Janin dalam kandungannya juga merupakan noda, dan ciptaan kecil itu harus dihancurkan supaya keluarga kami bisa kembali hidup dengan terhormat.
Pada malam sebelum ia dieksekusi, ia datang ke kamar saya dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan merindukan saya. Ia menangis dan memeluk saya di dadanya. Kemudian ia tersenyum dan berkata bahwa ia akan melihat bayinya yang belum lahir. Saya merasa bahagia, tidak tahu akan nasibnya, tetapi saya bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Saya begitu takut!
Saya masih ingat matanya yang hitam; ia menatap langit ketika tanah digali dan ia dimasukkan ke dalamnya. Ia dibungkus dengan kain putih dan tangannya diikat ke tubuhnya. Ia dikubur hingga batas pinggang. Massa mengelilinginya dengan batu di tangan mereka dan mulai melemparinya dengan batu sambil menyerukan Allah-u-Akbar! Allah-u-Akbar!  sebagai tambahan atas kegilaan yang mereka lakukan. Kakakku menggelepar kesakitan sementara batu-batu menghantam tubuhnya yang lemah dan memecahkan kepalanya. Darah mengalir keluar dari wajah, pipi, mulut, hidung dan matanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah membungkukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Perlahan-lahan gerakannya melambat dan akhirnya berhenti meskipun hujan batu terus berlangsung. Kepalanya tertelungkup di dadanya. Wajahnya yang penuh darah tetap tenang. Semua kesakitan telah pergi. Massa yang histeris menjadi kasihan dan teriakan Allah-u-Akbar pun berhenti. Seseorang mendekat, dengan sebuah batu besar di tangannya, menghantam tengkorak kakak saya dengan batu itu untuk memastikan nyawanya berakhir. Sebetulnya ia tidak perlu melakukan itu karena ia sudah mati. Mata hitamnya yang biasanya bersinar dengan kehidupan sekarang tertutup. Tawa riangnya yang biasanya memenuhi dunia di sekelilingnya kini telah membisu. Jantungnya yang berdetak dengan cinta surgawi untuk waktu yang hanya singkat saja, sekarang telah berhenti. Bahkan janinnya tidak diberikan kesempatan untuk menghirup udara. Janin ini menemani ibunya yang masih muda di tempatnya yang sunyi dan kuburannya yang dingin, atau siapa yang tahu, mungkin ke tempat yang lebih baik dimana cinta memerintah dan kesakitan serta kebodohan tidak dikenal. Nyawa kedua mahluk hidup ini harus dihapus supaya ayah saya bisa menjaga kehormatannya.
Ia ingin menikah dengan pria yang ia cintai. Ia memimpikan bisa mengenakan gaun putih di hari pernikahannya; dimana akan ada sebuah pesta perayaan yang besar, banyak orang akan diundang dan mereka semua akan mengucapkan selamat kepadanya, menyanyikan lagu-lagu sukacita, dan melemparkan bunga dan guntingan kertas berwarna kepadanya. Ya, memang masih ada perayaan, tetapi bukan perayaan pesta pernikahannya. Ia memang masih mengenakan pakaian putih, tetapi itu bukan gaun putih untuk pernikahannya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang untuk mengutukinya, dan melemparinya dengan batu. Tidak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara. Pelukan yang ia terima hanya dari tanah yang dingin dimana separuh tubuhnya dikubur. Ciuman yang ia terima hanya dari batu-batu yang dilemparkan kepadanya dan merobek dagingnya serta menghancurkan tulang-tulangnya. Mereka menciumnya dengan kematian. Ia tidak dipersatukan dengan pria yang ia cintai tetapi dinikahkan dengan kematian.

Ini adalah sebuah tragedi bagi kekasih kakak saya. Hidupnya menjadi tidak berarti. Ia mendapatkan cambukan, tetapi hanya itu saja. Ia bisa saja melupakan seluruh kisah asmara mereka dan melanjutkan hidupnya, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Saya setiap hari melihatnya berdiri di depan pintu rumah kami, seolah-olah sedang menunggu kakak saya untuk keluar dan bertemu dengannya. Saya melihatnya menangis. Saya hanya bisa membayangkan bahwa ketika ia tidak menangis di depan rumah kami, maka saat itu ia sedang berada di pemakaman, menangis di atas makam orang yang ia kasihi dan bayinya. Hingga suatu hari ia tidak sanggup lagi menanggung penderitaannya dan kemudian ia pun gantung diri hingga mati.
Kematiannya didiamkan dan tak ada orang yang membicarakannya. Mungkin tak ada orang yang peduli. Ia dipersatukan dengan kekasihnya dan bayinya. Tak ada lagi orang yang bisa menyakiti mereka. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.

Ini adalah sebuah kisah sedih. Tetapi berbeda dengan cerita Romeo dan Juliet, ini adalah kisah nyata yang belum pernah diungkapkan. Tak seorang pun membicarakan kedua orang yang tengah kasmaran itu. Tak ada orang yang menangisi mereka. Tidak hanya mereka dikubur, tetapi memori mengenai mereka berdua juga dikubur seolah-olah mereka tidak pernah eksis. Cinta mereka yang tulus membuat orang lain merasa malu, perasaan malu yang harus dihilangkan dengan darah mereka.

Tetapi bagian yang paling menyedihkan adalah bahwa, berdasarkan hukum Islam, kakakku layak dihukum mati. Para tua-tua yakin bahwa ia akan dibakar di api neraka hingga selama-lamanya. Tidak, saya tidak bisa membayangkan bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang ke neraka karena mencintai seseorang dan karena merasa bahagia oleh cinta itu. Saya tidak bisa menerima tuhan yang sadis seperti itu.
Ketika saya telah berusia delapan belas tahun, saya menikah dengan seorang pria Turki yang bekerja sebagai bisnisman. Ia berasal dari Jerman. Ketika saya datang ke Jerman, saya menemukan bahwa ia sudah memiliki seorang isteri yang lain.

Ia bukan seorang yang jahat. Ia sangat baik, tetapi ia seorang Muslim. Ia tidak bisa mengerti mengapa orang Eropa tidak suka poligami. Ia tidak mengijinkan kami isteri-isterinya keluar rumah. Ia melindungi kehormatan kami dengan cara yang aneh.

Kemudian kami pindah ke Inggris. Di sini kami bahkan lebih terisolasi daripada di Jerman karena hanya ada sedikit orang Turki di negara ini. Di Jerman, paling tidak kami masih bisa bertemu dengan orang-orang Turki yang lain.

Hubunganku dengan isteri pertama suamiku seperti teman. Tentu saja ada rivalitas diantara kami, tetapi saya sendirian dan tidak bisa keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain. Hidupnya membosankan dan kosong sama seperti hidup saya. Kami tidak dapat membenci satu sama lain; kami harus menjadi teman untuk mengatasi masalah-masalah kami. Aku dan dia seperti dua orang pasangan sel. Kami saling memiliki. Tidak ada banyak ruang untuk antagonisme atau sakit hati.

Saya memiliki lima anak, dia empat anak. Ia menempati posisi yang lebih istimewa dalam keluarga kami karena ia memiliki anak laki-laki. Sejauh ini saya hanya melahirkan anak-anak perempuan.
Kami berdua berpendidikan, tetapi ia sangat terobsesi dengan anak-anak sehingga ia berhenti membaca buku. Saya masih mencoba untuk belajar, barangkali suatu hari kelak saya akan dibebaskan...membaca buku, tetap memasukkan informasi ke dalam otakku, sebab aku suka berpikir. Ia sendiri tidak suka membaca buku atau berpikir, karena itu saya merasa sendiri.

Terkadang saya berpikir untuk melarikan diri, tetapi saya memiliki lima orang anak perempuan. Saya tidak bisa meninggalkan mereka atau lari dari mereka. Saya merasa terjebak.
Meskipun saya sudah meninggalkan Islam cukup lama, saya tidak pernah berhenti berdoa dan berpuasa. Suami saya menyimpan rotan untuk ketidaktaatan.
Ketika saya coba memprotes, mulut saya dibungkam dengan kutipan dari Quran. Islamlah yang menentukan hidup kita. Betapa bodohnya jika ada orang yang menjalani hidup mereka berdasarkan sebuah buku yang ditulis jauh di masa lalu?
Saya tidak sedang menyesali hidup saya. Tetapi saya benar-benar benci dengan Islam. Paling tidak saya bisa mempraktekkan tradisi tertentu, tetapi Islam telah menghancurkan budaya kami, menurunkan derajat kaum wanita menjadi budak dan membiarkan mereka dalam kebodohannya. Apa yang bisa anda harapkan dari seorang wanita tak berpendidikan?
Ketika saya memandangi anak-anak perempuanku, saya berdoa bahwa mereka akan hidup di sebuah dunia yang bebas, bebas dari Islam dan perbudakan ini.

Yagmur Dursun* adalah nama yang ia berikan dalam surat-suratnya. Sejumlah detil dari kisah ini telah dirubah untuk menyembunyikan identitas penulis

Jumat, 04 Mei 2012

Heart Eyes

 

Kematian Rasullulah SAW Ada sebuah kisah tentang cinta

yang sebenar-benar cinta yang


dicontohkan Allah melalui


kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu,


walaupun langit telah mulai


menguning, burung-burung gurun


enggan mengepakkan sayap. Pagi


itu, Rasulullah dengan suara


terbatas memberikan


khutbah, “Wahai umatku, kita


semua ada dalam kekuasaan


Allah dan cinta kasih-Nya. Maka


taati dan bertakwalah kepada-Nya.


Kuwariskan dua perkara pada


kalian, Al Qur’an dan sunnahku.


Barang siapa mencintai sunnahku,


bererti mencintai aku dan kelak


orang-orang yang mencintaiku,


akan masuk syurga bersama-


sama aku.” Khutbah singkat itu


diakhiri dengan pandangan mata


Rasulullah yang tenang dan penuh


minat menatap sahabatnya satu


persatu.
Abu Bakar menatap mata itu

dengan menangis, Umar dadanya


naik turun menahan nafas dan


tangisnya. Usman menghela nafas


panjang dan Ali menundukkan


kepalanya dalam-d! alam. Isyarat


itu telah datang, saatnya sudah


tiba.
“Rasulullah akan meninggalkan

kita semua,”keluh hati semua


sahabat kala itu. Manusia tercinta


itu, hampir selesai menunaikan


tugasnya didunia. Tanda-tanda itu


semakin kuat, tatkala Ali dan


Fadhal dengan cergas menangkap


Rasulullah yang berkeadaan


lemah dan goyah ketika turun dari


mimbar. Disaat itu, kalau mampu,


seluruh sahabat yang hadir di sana


pasti akan menahan detik-detik


berlalu. Matahari kian tinggi, tapi


pintu rumah Rasulullah masih


tertutup. Sedang didalamnya,


Rasulullah sedang terbaring lemah


dengan keningnya yang


berkeringat dan membasahi


pelepah kurma yang menjadi alas


tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar

seorang yang berseru


mengucapkan salam. “Bolehkah


saya masuk?” tanyanya. Tapi


Fatimah tidak mengizinkannya


masuk, “Maafkanlah, ayahku


sedang demam,” kata Fatimah


yang membalikkan badan dan


menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani

ayahnya yang ! ternyata sudah


membuka mata dan bertanya


pada Fatimah, “Siapakah itu wahai


anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang

sepertinya baru sekali ini aku


melihatnya,” tutur Fatimah lembut.


Lalu, Rasulullah menatap


puterinya itu dengan pandangan


yang menggetarkan. Seolah-olah


bahagian demi bahagian wajah


anaknya itu hendak


dikenang. “Ketahuilah, dialah yang


menghapuskan kenikmatan


sementara, dialah yang


memisahkan pertemuan di dunia.


Dialah malakul maut,” kata


Rasulullah, Fatimah pun menahan


ledakkan tangisnya. Malaikat maut


datang menghampiri, tapi


Rasulullah menanyakan kenapa


Jibril tidak ikut sama


menyertainya. Kemudian


dipanggilah Jibril yang sebelumnya


sudah bersiap di atas langit dunia


menyambut ruh kekasih Allah dan


penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di

hadapan Allah?” Tanya Rasululllah


dengan suara yang amat


lemah. “Pintu-pintu langit telah


terbuka, para malaikat telah


menanti ruhmu. Semua syurga


terbuka lebar m! enanti


kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi


itu ternyata tidak membuatkan


Rasulullah lega, matanya masih


penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar

khabar ini?” Tanya Jibril


lagi. “Khabarkan kepadaku


bagaimana nasib umatku


kelak?” “Jangan khawatir, wahai


Rasul Allah, aku pernah


mendengar Allah berfirman


kepadaku: ‘Kuharamkan syurga


bagi siapa saja, kecuali umat


Muhammad telah berada di


dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat,

saatnya Izrail melakukan tugas.


Perlahan ruh Ra! sulullah ditarik.


Nampak seluruh tubuh Rasulullah


bersimbah peluh, urat-urat


lehernya menegang. “Jibril, betapa


sakit sakaratul maut ini.” Perlahan


Rasulullah mengaduh. Fatimah


terpejam, Ali yang di sampingnya


menunduk semakin dalam dan


Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga

kau palingkan wajahmu Jibril?”


Tanya Rasulullah pada Malaikat


pengantar wahyu itu. “Siapakah


yang sanggup, melihat kekasih


Allah direnggut ajal,” ka! ta Jibril.
Sebentar kemudian terdengar

Rasulullah memekik, kerana sakit


yang tidak tertahankan lagi. “Ya


Allah, dahsyat nian maut ini,


timpakan saja semua siksa maut


ini kepadaku, jangan pada


umatku.”Badan Rasulullah mulai


dingin, kaki dan dadanya sudah


tidak bergerak lagi. Bibirnya


bergetar seakan hendak


membisikkan sesuatu, Ali segera


mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa

malakat aimanuku, peliharalah


shalat dan peliharalah orang-orang


lemah di antaramu.” Di luar pintu


tangis mulai terdengar bersahutan,


sahabat saling berpelukan.


Fatimah menutupkan tangan di


wajahnya, dan Ali kembali


mendekatkan telinganya ke bibir


Rasulullah yang mulai kebiruan.

“Ummatii, ummatii, ummatiii?” -
“Umatku, umatku, umatku” Dan,
berakhirlah hidup manusia mulia
yang memberi sinaran itu. Kini,
mampukah kita mencintai
sepertinya? Allahumma sholli ‘ala
Muhammad wa baarik wa
salim ‘alaihi Betapa cintanya
Rasulullah kepada kita.

Kamis, 03 Mei 2012

Kiat - Kiat

Ingin Jadi Ayah Sempurna

Ini Dia Kiatnya


         Tiap Aya tentu ingin membangun citranya tersendiri di mata anaknya. Sebagian masih ada yang menarik jarak dengan anandanya. Konon, demi menjaga wibawa.

  Bagaiman menjadi ayah yang sempurna? Berikut ini tipsnya :
  • Bantu anak bangkit.Berapapun usianya, anak tetaplah buah hati yang anda ingin terus lindungi. Terkadang, hal - hal buruk menimpa mereka tanpa bisa Anda cegah. Saat itu terjadi, bantulah mereka untuk bangkit. Hindari menghakiminya. Jauhi kalimat, "Benar kan, kata Ayah!!" Sebaliknya, siapkan bahu anda untuk bersandar, menangis melepas kesedihan.
  • Prioritaskan kebutuhannya. Begitu Anda menjadi orang tua, singkirkan ego pribadi. Sekarang, semuanya tentang anak. Ayah yang baik akan menempatkan kebutuhan anaknya sebagai prioritas.        
  • Limpahi mereka dengan kasih sayang. Pada anak yang lebih muda, kata-kata sayang akan kurang kesannya. Tunjukan perasaan anda dengan menikmati waktu bersamanya, memeluknya, bermain, atau sekedar ada di sisinya.
  • Luangkan waktu khusus untuk berinteraksi dengan anak. Anak tidak memerlukan hadiah nan mahal atau uang. Mereka ingin mengisi waktu dengan hubungan yang berkualitas dengan ayahnya.
  • Nikmati kehidupan Anda. Ketika Anda bahagia, rasa gembira akan membekas pada prilaku Anda dan itu menyenangkan buat anak. Jadi, jangan lupa sisihkan waktu untuk diri sendiri.
  • Imbangi keriangan dengan peraturan. Ini akan membantu anak belajar cara berprilaku yang baik.
  • Cobalah berlaku fleksibel. Terkadang, pekerjaan dengan komitmen lainnnya membuat kehidupan menjadi timpang sebelah. Kehidupan keluarga sedikit terbengkalai karenanya. Sesibuk apapun Anda, pastikan anak mengetahui ayahnya akan ada bersamanya ketika ia membutuhkannya.

Ibroh


Senjata Makan Tuan

D
i Sajastan, wilayah Asia Tengah, antara Iran dan Afganistan, hidup seorang ulama ahli bahasa yang amat terkenal. Suatu hari ia menasehati putranya : “Kalau kamu hendak membicarakan sesuatu, paki dahulu otakmu. Pikirkan dengan matang, setelah itu, baru katakan dengan kalimat yang baik dan benar.”
                Pada suatu hari di musim hujan, keduanya sedang duduk – duduk santai di dekat api unggun di rumahnya. Tiba – tiba sepercik api mengenai jubah tenunan dari sutera yang dikenakan sang ayah. Peristiwa itu dilihat putranya, namun diam saja.
                Setelah berpikir beberapa saat barulah ia membuka mulut.
Anak : “Ayah, aku ingin mengatakan sesuatu, bolehkah?” tanyanya
Ayah : “Kalau menyangkut kebenaran katakan saja.” Jawab sang ayah
Anaka : “ Ini memang menyangkut kebenaran,” jawabnya.
Ayah : “ Silahkan.” Kata sang ayah
Anak : “Benda apa itu?”, tanya sang ayah. “Sepercik api mengenai jubah ayah.” Jawabnya
                Seketika sang ayah melihat jubah yang sebagian sudah hangus terbakar.
Ayah : ”Kenapa tidak beritahukan kepada ayah dari tadi?” kata sang ayah
Anak : “ Aku harus berpikir dahulu sebelum mengatakannya, seperti apa yang Ayah nasihatkan kepadaku tempo hari.” Jawab sang anak dengan lugu
                Sejak itu ia berjanji akan lebih berhati – hati dalam memberikan nasihat pada putranya. Ia tidak ingin peristiwa pahit seperti itu terulang lagi.

Muhasabah

Kedahsyatan Saat Menjelang Maut

      Ketahuilah bahwa keluarbiasaan rasa sakit dalam sakratul maut tak dapat diketahui dengan pasti kecuali oleh orang yang telah merasakannya. Sedangkan orang yang belum pernah merasakannya hanya bisa mengetahuinya dengan cara menganalogikannya dengan rasa sakit yang benar - benar pernah dialaminya, atau dengan cara mengamati orang lain yang sedang berada dalam keadaan sakratul maut. Lewat jalan analogi, yang akan membuktikannya derita sakratal maut, akan diketahui bahwa setiap anggota badan yang sudah tidak bernyawa tidak lagi bisa merasakan sakit.