Jumat, 04 Mei 2012

Heart Eyes

 

Kematian Rasullulah SAW Ada sebuah kisah tentang cinta

yang sebenar-benar cinta yang


dicontohkan Allah melalui


kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu,


walaupun langit telah mulai


menguning, burung-burung gurun


enggan mengepakkan sayap. Pagi


itu, Rasulullah dengan suara


terbatas memberikan


khutbah, “Wahai umatku, kita


semua ada dalam kekuasaan


Allah dan cinta kasih-Nya. Maka


taati dan bertakwalah kepada-Nya.


Kuwariskan dua perkara pada


kalian, Al Qur’an dan sunnahku.


Barang siapa mencintai sunnahku,


bererti mencintai aku dan kelak


orang-orang yang mencintaiku,


akan masuk syurga bersama-


sama aku.” Khutbah singkat itu


diakhiri dengan pandangan mata


Rasulullah yang tenang dan penuh


minat menatap sahabatnya satu


persatu.
Abu Bakar menatap mata itu

dengan menangis, Umar dadanya


naik turun menahan nafas dan


tangisnya. Usman menghela nafas


panjang dan Ali menundukkan


kepalanya dalam-d! alam. Isyarat


itu telah datang, saatnya sudah


tiba.
“Rasulullah akan meninggalkan

kita semua,”keluh hati semua


sahabat kala itu. Manusia tercinta


itu, hampir selesai menunaikan


tugasnya didunia. Tanda-tanda itu


semakin kuat, tatkala Ali dan


Fadhal dengan cergas menangkap


Rasulullah yang berkeadaan


lemah dan goyah ketika turun dari


mimbar. Disaat itu, kalau mampu,


seluruh sahabat yang hadir di sana


pasti akan menahan detik-detik


berlalu. Matahari kian tinggi, tapi


pintu rumah Rasulullah masih


tertutup. Sedang didalamnya,


Rasulullah sedang terbaring lemah


dengan keningnya yang


berkeringat dan membasahi


pelepah kurma yang menjadi alas


tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar

seorang yang berseru


mengucapkan salam. “Bolehkah


saya masuk?” tanyanya. Tapi


Fatimah tidak mengizinkannya


masuk, “Maafkanlah, ayahku


sedang demam,” kata Fatimah


yang membalikkan badan dan


menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani

ayahnya yang ! ternyata sudah


membuka mata dan bertanya


pada Fatimah, “Siapakah itu wahai


anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang

sepertinya baru sekali ini aku


melihatnya,” tutur Fatimah lembut.


Lalu, Rasulullah menatap


puterinya itu dengan pandangan


yang menggetarkan. Seolah-olah


bahagian demi bahagian wajah


anaknya itu hendak


dikenang. “Ketahuilah, dialah yang


menghapuskan kenikmatan


sementara, dialah yang


memisahkan pertemuan di dunia.


Dialah malakul maut,” kata


Rasulullah, Fatimah pun menahan


ledakkan tangisnya. Malaikat maut


datang menghampiri, tapi


Rasulullah menanyakan kenapa


Jibril tidak ikut sama


menyertainya. Kemudian


dipanggilah Jibril yang sebelumnya


sudah bersiap di atas langit dunia


menyambut ruh kekasih Allah dan


penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti di

hadapan Allah?” Tanya Rasululllah


dengan suara yang amat


lemah. “Pintu-pintu langit telah


terbuka, para malaikat telah


menanti ruhmu. Semua syurga


terbuka lebar m! enanti


kedatanganmu,” kata Jibril. Tapi


itu ternyata tidak membuatkan


Rasulullah lega, matanya masih


penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar

khabar ini?” Tanya Jibril


lagi. “Khabarkan kepadaku


bagaimana nasib umatku


kelak?” “Jangan khawatir, wahai


Rasul Allah, aku pernah


mendengar Allah berfirman


kepadaku: ‘Kuharamkan syurga


bagi siapa saja, kecuali umat


Muhammad telah berada di


dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat,

saatnya Izrail melakukan tugas.


Perlahan ruh Ra! sulullah ditarik.


Nampak seluruh tubuh Rasulullah


bersimbah peluh, urat-urat


lehernya menegang. “Jibril, betapa


sakit sakaratul maut ini.” Perlahan


Rasulullah mengaduh. Fatimah


terpejam, Ali yang di sampingnya


menunduk semakin dalam dan


Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga

kau palingkan wajahmu Jibril?”


Tanya Rasulullah pada Malaikat


pengantar wahyu itu. “Siapakah


yang sanggup, melihat kekasih


Allah direnggut ajal,” ka! ta Jibril.
Sebentar kemudian terdengar

Rasulullah memekik, kerana sakit


yang tidak tertahankan lagi. “Ya


Allah, dahsyat nian maut ini,


timpakan saja semua siksa maut


ini kepadaku, jangan pada


umatku.”Badan Rasulullah mulai


dingin, kaki dan dadanya sudah


tidak bergerak lagi. Bibirnya


bergetar seakan hendak


membisikkan sesuatu, Ali segera


mendekatkan telinganya.
“Uushiikum bis shalati, wa maa

malakat aimanuku, peliharalah


shalat dan peliharalah orang-orang


lemah di antaramu.” Di luar pintu


tangis mulai terdengar bersahutan,


sahabat saling berpelukan.


Fatimah menutupkan tangan di


wajahnya, dan Ali kembali


mendekatkan telinganya ke bibir


Rasulullah yang mulai kebiruan.

“Ummatii, ummatii, ummatiii?” -
“Umatku, umatku, umatku” Dan,
berakhirlah hidup manusia mulia
yang memberi sinaran itu. Kini,
mampukah kita mencintai
sepertinya? Allahumma sholli ‘ala
Muhammad wa baarik wa
salim ‘alaihi Betapa cintanya
Rasulullah kepada kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar