Kisah ini diceritakan oleh seorang ustadzah
Hari itu aku pergi ke sebuah klinik. Setelah mengambil nomor antrian, aku pun duduk menunggu giliranku. Sekonyong-konyong masuklah seorang gadis cantik. Sayang sekali, dia tidak mengenakan jilbab. Sebaliknya, berdandan menor. Gadis itu pun mengambil nomor, lalu duduk tidak jauh dariku.
Entah mengapa, ada sebuah dorongan dalam diriku untuk menyampaikan sekedar sebuah nasehat kepadanya. Akhirnya setelah cukup lama diliputi kebimbangan, aku pun menasehatinya dengan selembut mungkin. Aku jelaskan kepadanya perintah Allah yang telah dilanggarnya. Namun reaksinya benar-benar tak kuduga. la membentakku dengan suara keras.
Ia marah karena -menurutnya- aku terlalu ikut campur dengan apa yang ia kenakan.
“Aku bebas melakukan dan mengenakan apa yang aku mau!!” ujarnya.
“Aku bebas melakukan dan mengenakan apa yang aku mau!!” ujarnya.
Akhirnya, aku pun kembali ke tempat dudukku. Namun dorongan dan bisikan itu kembali mengusik hatiku: “Mengapa aku tidak menyampaikan soal kematian -sang penghancur segala kenikmatan- kepadanya?”
Aku pun memberanikan diri kembali mendekatinya. Dengan sesungging senyum aku memintanya untuk menjawab satu pertanyaan saja dariku.
“Silahkan,” ujarnya.
“Jika saja saat ini Sang Malaikat pencabut nyawa mendatangimu, apa yang akan engkau katakan padanya?” tanyaku.
Ia pun menjawab -duhai, andai saja ia tidak menjawabnya- dengan penuh cemooh: “Aku akan mengatakan kepadanya: ‘Hush..hush!”
Jawaban itu seperti petir menyambarku. Namun beruntunglah nomor antrianku muncul di layar. Dan aku pun masuk menemui sang dokter dengan hati yang dipenuhi keterkejutan. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa sedemikian sombong dengan mengucapkan kata-kata seperti itu?
Setelah menjalani semua pemeriksaan, aku pun keluar dari ruang dokter. Di luar sang, aku dikejutkan dengan kerumunan pasien dan perawat yang silih berganti mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un‘. Saat aku mendekat, betapa terkejutnya aku. Apa yang kulihat? Yang kulihat adalah gadis itu. Ia terkulai dan tergeletak di situ dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Rupanya hari itu adalah hari terakhirnya. Dan semua bisikan-bisikan yang memenuhi hatiku tadi tidak lain adalah untuk memberinya kesempatan. Yah, Allah masih memberinya kesempatan untuk -setidaknya- meniatkan taubatnya. Tapi sayang sekali, ia tidak menggunakan kesempatan terakhir itu. Malaikat maut datang, dan ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun padanya.
Kisah ini adalah hadiah untuk mereka yang tertipu dengan angan-angan dan obsesi hidup lebih lama di dunia!!